Hak Pilih Anggota TNI Dalam Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan umum (Pemilu) adalah bagian dari demokrasi dan hak asasi manusia yang selalu dilaksanakan dan dihormati oleh setiap “negara hukum” ataupun negara-negara di bawah “the rule of law”. Pemilu itu menyangkut “hak untuk memilih” dan “hak untuk dipilih”, termasuk hak untuk “tidak menggunakan” hak pilih dan hak untuk “tidak bersedia” dipilih dalam suatu pemilu. Hak untuk memilih dan dipilih ini merupakan bagian dari hak sipil-politik setiap warga negara. Di samping hak sipil dan politik, masih terdapat hak-hak setiap warga negara yang disebut sebagai hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain hak asasi, tentu ada kewajiban warga negara agar terdapat keseimbangan dalam menggunakan hak dan kewajiban warga negara. Salah satu hak ekonomi itu adalah hak atas pekerjaan dan hak dengan bebas memilih pekerjaan. Banyak jenis pekerjaan dan hak dengan bebas memilih pekerjaan. Banyak jenis pekerjaan yang bisa dipilih seseorang yang sesuai dengan bakat, kemampuan, keahlian, dan adanya kesempatan yang tersedia. Pekerjaan dimaksud baik di bidang politik maupun non-politik. Di bidang non-politik ada yang disebut profesi dan ada pekerjaan yang bukan merupakan profesi. Mereka yang menekuni profesinya disebut profesional. Beberapa pekerjaan yang biasanya merupakan profesi antara lain: anggota militer, dokter, pengacara, banker, dsb. Profesi seorang profesional sering mengakibatkan yang bersangkutan tidak bersedia atau melepaskan haknya untuk dipilih dalam suatu pemilu untuk menduduki jabatan politik (publik).

Hak-hak tersebut di atas bersama-sama dengan hak-hak dalam kebebasan-kebebasan lainnya yang dirumuskan dalam PU HAM, tidak boleh dihilangkan atau dikurangi oleh negara, pemerintah atau siapapun. Hal tersebut jelas dirumuskan dalam PU HAM :

  1. Pasal 29 ayat (3): Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimanapun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  2. Pasal 30: Tidak satupun di dalam Pernyataan ini boleh ditafsirkan memberikan kepada suatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apapun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang manapun yang termaktub di dalam pernyataan ini.
Tetapi kebebasan-kebebasan han hak-hak tersebut dalam PU HAM tidak boleh disalahgunakan atau dilaksanakan semena-mena sehingga mengganggu hak-hak orang lain. Hal ini ditegaskan dalam PU HAM Pasal 29 ayat (2) dengan perumusan: “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam kesulitan, ketertiban, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.

Karena itu secara teoritis pada negara-negara demokrasi konstitusional, hak pilih anggota militer dalam suatu pemilu tidak boleh dihilangkan atau dicabut, sedangkan haknya untuk dipilih dalam suatu pemilu tidak perlu dia gunakan karena dia telah memilih profesi militer dan oleh karena itu telah menjadi seorang profesional, kecuali dia mengundurkan diri dari militer, yang bersangkutan dapat kembali menggunakan hak untuk dipilih (mencalonkan diri) dalam suatu pemilu.

Membicarakan atau membahas suatu pemilu biasanya menyangkut 2 hal pokok, yaitu:

Pertama, apa yang biasa disebut sebagai “electoral laws”, yang menyangkut hal-hal yang secara umum sudah diketahui banyak orang dan sudah biasa dilaksanakan oleh negara-negara demokrasi konstitusional, misalnya sistem pemilu, asas-asas pemilu, penghitungan dan distribusi suara dalam suatu pemilu. Mengenai yang pertama ini hampir tidak ada perbedaan pendapat. Bila sudah disepakati yang digunakan dalam suatu pemilu adalah sistem proporsional, maka yang dipilih dalam pemilu adalah partai-partai peserta pemilu dan yang dipilih dalam satu daerah pemilihan biasanya lebih dari satu orang. Bila yang disepakati digunakan dalam sistem distrik maka yang dipilih adalah orang (calon) dan yang terpilih dari satu distrik pemilihan hanya satu orang, yaitu calon yang memperoleh suara terbanyak dalam distrik yang bersangkutan, walau selisih perolehan suaranya dengan calon-calon lain hanya 1 (satu) suara. Muatan politik dalam electoral law ini tidak banyak.

Kedua, adalah “electoral process”. Yang kedua ini menyangkut mekanisme pelaksanaan (penyelenggaraan) suatu pemilu. Misalnya, menentukan: siapa saja yang menjadi anggota panitia (komisi) pemilu dari tingkat pusat hingga petugas (panitia) pemungutan suara, apakah hari pemungutan suara hari libur atau hari kerja, letak dan jumlah kotak suara, ketentuan tentang kampanye, masa pendaftaran dan penetapan daftar pemilih sementara dan tetap, apakah anggota militer boleh memilih atau tidak, pembiayaan penyelenggaraan pemilu, siapa yang berhak menjadi saksi, bagaimana syarat-syarat partai/perseorangan untuk menjadi peserta pemilu, tenggang waktu pengumuman hasil pemilu dari saat pemilu, dsb. Electoral Process ini syarat dengan muatan politik terutama bagi negara-negara berkembang, bahkan sering dijadikan strategi untuk memenangkan suatu pemilu.

Apa yang diuraikan di atas adalah mengenai pemilu secara umum. Sekarang kita memasuki bahasan menyangkut “Hak Pilih Anggota TNI dalam Pemilu di Indonesia”.

TNI - Tentara Nasional Indonesia

Hak pilih seseorang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, dan peraturan pelaksanaannya. Di Indonesia sekarang berlaku UUD 1945 pasca amandemen (Oktober 1999-sekarang). Sebelumnya berlaku UUD 1945 (sebelum amandemen) tahun 1945-1949 dan 1959-1999; Konstitusi RIS (1949-1950), dan UUDS (1950-1959). UUD 1945 sebelum amandemen tidak mengatur tentang pemilu, baru setelah amandemen UUD 1945 pemilu diatur secara jelas yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPRD. UUDS 1950 juga secara jelas mengatur tentang pemilu. Pengaturan mengenai pemilu dan peraturan pelaksanaannya umumnya tergantung dari arahan (ketentuan) dalam UUD yang berlaku dan sistem ketatanegaraan dan politik yang diterapkan, apakah sistem yang demokratis atau yang otoriter. Sejak merdeka, Indonesia telah 9 kali menyelenggarakan pemilu, yaitu: sekali pada masa berlakunya UUDS 1950 yang terkenal sebagai masa leiberal dan demokratis; 6 (enam) kali masa Orde Baru berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, sekali pada permulaan masa reformasi berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, dan sekali masa reformasi berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen. Sesuai dengan sistem politik yang diambil dan atas perintah Pasal 56 dan 57 UUDS 1950, maka pemerintah menggagas pemilu untuk menyusun anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemerintah mulai menyusun RUU Pemilihan Umum Anggota Konstituante dan DPR, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 1953. Hak pilih anggota TNI sesuai dengan alam demokrasi dan PU HAM dijamin, bahkan bagi anggota TNI (waktu itu sebutannya sebagai Angkatan Perang) yang menjalankan tugas operasi diatur secara khusus, Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1953 tersebut, menyebutkan :

“Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilih anggota-anggota Angkatan Perang dan Polisi, yang pada hari dilakukan pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya dan apabila perlu dengan mengadakan dalam waktu sependek-pendeknya pemungutan suara susulan untuk mereka itu”

Pelaksanaan hak pilih anggota TNI tersebut, diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 9 Tahun 1954, Pasal 56 s.d. 59. Tetapi di lain pihak, UU Nomor 5 Tahun 1953 ini juga mencegah perwira TNI berpangkat Letkol ke atas merangkap menjadi Anggota DPR yang diatur dalam Pasal 110 yang menyebutkan :

“Selain dengan jabatan-jabatan tersebut dalam Pasal 61 UUDS, keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat dirangkap dengan Jabatan Sekretaris Jenderal atau Direktur Jenderal suatu kementerian, Ketua, Wakil Ketua atau anggota Mahkamah Tentara Agung, Jaksa Tentara Agung, Ketua Pengadilan Tinggi, Gubernur Kepada Daerah, Ketua DPRD, Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala dan Wakil Kepala Polisi Negara, dan Anggota Angkatan Perang pangkat Letnan-Kolonel ke atas”

Dari ketentuan Pasal 110 ini, semua anggota TNI tetap diberikan hak untuk dipilih, tetapi anggota TNI berpangkat Letkol ke atas bila terpilih menjadi anggota DPR dan menerima keanggotaan DPR tersebut, maka yang bersangkutan harus diberhentikan dengan hormat dari anggota TNI. Hal tersebut diatur PP Nomor 47 Tahun 1974, Bagaimana sebenarnya hak anggota TNI pada pemilu 2009 mendatang? Kita sependapat anggota TNI tidak perlu duduk di DPR melalui pengangkatan lagi, sudah bukan jamannya lagi. Kita sependapat bahwa karena profesinya yang khusus dan profesional anggota TNI tidak perlu menggunakan haknya untuk dipilih karena ia sudah secara sukarela memilih karir di TNI.

Tetapi bagaimana dengan hak pilih? Menurut kami sesuai dengan alam demokrasi sekarang ini dan semakin baiknya pemahaman tentang demokrasi dan HAM, maka hak pilih anggota TNI semestinya diberikan. Dalam negara demokrasi konstitusional, hak tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan.

Terima kasih atas kunjungan dan komentar Anda yang sesuai dengan topik artikel. Komentar akan tampil setelah di moderasi.
EmoticonEmoticon